Dalam RUU Keterbukaan Informasi Publik, term informasi publik diartikan sebagai infromasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola dan/atau dikirim/diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UU ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Dalam hemat saya, informasi publik dapat dimaknai dalam dua term, pertama, informasi tentang kebijakan pemerintah yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat; karena itu harus diketahui dan dipahami secara akurat oleh masyarakat. Dan kedua, informasi yang bersifat kontingensi atau mendesak atas konteks dan skala tertentu sebagai bentuk penjelasan atas isu yang berkembang di masyarakat. Kebijakan penyediaan dan pelayanan informasi publik dirancang dan didesain untuk mendorong terpenuhinya dua term pengertian informasi publik di atas.
Tantangan Lembaga Publik
Secara faktual, fungsi pelayanan informasi publik, dalam batas-batas tertentu telah diperankan oleh media massa, lembaga swadaya masyarakat dan kelompok komunitas. Namun harus diakui dalam proses komunikasi kebijakan dan program pemerintah yang dilakukan elemen-elemen masyarakat tersebut terdapat tiga kecenderungan sebagai berikut:
Dalam banyak kasus media massa, kalangan LSM dan kelompok komunitas tidak mengkomunikasikan kebijakan dan program pemerintah dan negara secara akurat (accurate), lengkap (complete), dan seimbang (cover both side);
Keterbatasan ruang (space) atau waktu (duration) media massa membawa konsekuensi “keterpinggiran” konten informasi kebijakan dan program pemerintah dan negara. Secara nyata informasi mengenai hiburan saat ini jauh lebih dominan menghiasi ruang dan waktu media massa ketimbang informasi mengenai kebijakan dan program pemerintah dan negara.
Secara geografis masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang belum terjangkau media, baik cetak, penyiaran maupun online. Kondisi ini jelas membutuhkan fasilitasi pemerintah untuk memastikan penyebaran dan pelayanan informasi publik mengenai kebijakan dan program pemerintah dan negara belum agar seluruh lapisan masyarakat.
Pada dasarnya, tantangan terbesar dalam membangun sistem informasi dan komunikasi publik yang berkualitas, adalah mengemas sebuah sistem pengelolaan informasi dan pengemasan informasi yang dibutuhkan publik dan memiliki kualitas, akurat dan menarik. Sebab dengan adanya informasi yang sesuai dengan kebutuhan publik dan acceptable maka kepuasan publik akan bisa tercapai. Dengan informasi yang berkualitas maka kredibilitas lembaga pemerintah akan semakin diandalkan di mata publik.
Secara faktual, sekalipun telah dilakukan beragam upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi publik, namun selama ini di Indonesia masih terdapat kesenjangan yang signifikan antara ekspektasi dan realita. Selain permasalahan kelembagaan, sumber daya manusia, secara geografis banyak keterbatasan akses masyarakat terhadap informasi semisal antara kawasan perbatasan dan kota serta beragam lainnya. Kondisi ini membawa pada situasi masih belum meratanya akses masyarakat terhadap informasi publik sehingga menghambat pengembangan potensi dan partisipasi masyarakat dalam program pemerintah.
Apalagi, dewasa ini pergerakan informasi bukan saja cepat dan aktual, tetapi juga telah mengglobal, serentak, dan interaktif. Semua itu berkat hadirnya multimedia, media cetak, maupun media elektronik, seperti radio, televisi, internet, dan telepon berita yang tak lagi terkendala oleh periodisitas. Sementara dalam konteks kelembagaan, kebijakan otonomi daerah membawa dampak beragamnya nomenklatur, tugas, dan fungsi kelembagaan informasi dan komunikasi di daerah. Konsekuensi berikutnya adalah mekanisme umpan balik pelaksanaan kebijakan sebagai bahan perumusan kebijakan dan peningkatan kinerja pemerintah, belum dapat terkelola dengan baik. Belum lagi, saat ini masih terdapat beragamnya penafsiran atas batasan dan mekanisme perolehan informasi publik dan bukan informasi publik, karena peraturan perundangan yang menjadi acuan bersama belum selesai.
Solusi Terkini?
Prinsip fasilitasi memang menjadi kewajiban pemerintah. Hal ini pun dikaitkan dengan tujuan atau arah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, partisipatif, efektif dan efisien serta sesuai dengan aturan hukum yang ada (good governance).
Secara mendasar ada tiga pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika untuk mengembangkan kebijakan dan program informasi publik. Pertama, pengembangan dan penguatan kelembagaan yang status dan perannya melakukan sosialisasi kebijakan pemerintah agar menjadi acuan atau referensi dalam pemecahan persoalan yang ada.
Kedua, melakukan fasilitasi atau menumbuhkembangkan suasana dan kondisi yang bisa membuat dan mendorong publik untuk berpikir kritis dan berpartisipasi secara aktif dengan menyediakan informasi di bidang politik, hukum dan keamanan, perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Dan, ketiga, penguatan koordinasi lembaga-lembaga pelayanan informasi publik baik di pusat dan di daerah untuk mengembangkan sinergi pelayanan yang ada. Ke depan diharapkan dengan adanya sinergi maka setiap ada permasalahan atau kebutuhan penyebaran informasi mengenai kebijakan dan program pemerintah akan bisa dilakukan secara proaktif dan bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Minggu, 22 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar